
Je Suis Charlie, Je Suis Ahmed
Sejak menayangkan karikatur yang dianggap menghina, kantor Charlie Hebdo dijaga oleh petugas polisi. Salah satu polisi patroli bernama Ahmed Merabet, seorang muslim, salah seorang korban. Dia jatuh di trotoar dengan luka-luka, mencoba berdialog dengan para teroris, namun berakhir dengan ditembak dari jarak dekat di kepala.
“Dibantai layaknya seekor anjing.”, ucap rekan polisi yang melihat kejadian di video amatir.
Aneh, bila saya tidak tergerak menulis kejadian ini, karena pernah menjadi minoritas disana, dan sedikitnya paham seperti apa kondisi masyarakat Paris
Ijinkan saya mendongeng sebentar…
Sekilas Tentang Paris
Paris yang terkenal akan keindahan sebetulnya adalah kota megapolitan dengan penduduk multietnis. Sama dengan penyakit kota-kota besar di dunia, mereka individualis sekali. Yang tinggal di jantung kota Paris biasanya hidup dengan di apartemen-apartemen tua (bukan milik sendiri), dengan harga sewanya tergantung arrondisement (wilayah).
Di wilayah elit, harga sewa apartemen bisa meroket. Tapi kita dimanjakan oleh hal-hal cantik, seperti fasilitas-fasilitas, transportasi, pemandangan, sampai tetangga-tetangga- yang meski ada seolah tiada- taat peraturan
Di wilayah yang biasa-biasa, kita bisa melihat sedikit kekumuhan disana sini (beda dengan kelas kumuh dengan kita ya), tempat penduduk dari ras multi etnis, imigran, dengan segala intriknya.
Kemudian melipir ke daerah banlieu, pinggir kota Paris. Suasana jauh lebih “tenang”, karena wilayah tempat tinggal, serta supermarket-supermarket raksasa. Penduduk asli banyak tinggal di daerah sana, jauh dari hiruk pikuk. Walaupun mereka dalam keseharian bekerja di dalam kota Paris, setiap pagi mereka bangun pagi dan naik kereta luar kota RER yang selalu ontime (kecuali ada pemogokan).
Itu adalah isu pelik sejak pemerintahan Jacque Chirac.
Para imigran ada yang berstatus sans papier, tidak ber-KTP. Tanpa papier, sulit mendapat pekerjaan, jaminan, tunjangan kesehatan, dsb. Belum diuber-uber petugas imigrasi.
Imigran yang resmi menjadi warga negara tetap minoritas di kota itu. Bagi semua warga negara berlaku liberte egalite fraternite. Namun bagi yang melanggar aturan, hati-hati saja. Para sans papier beretnis tertentu dalam sejarahnya seringkali melanggar peraturan, sehingga mendapat “cap” tidak terucap dari masyarakat, prejudice, dalam jangka panjang sangat menyulitkan keturunan-keturunannya untuk mendapat penilaian yang adil. Terutama di mata calon pemberi kerja.
Tetapi ada juga etnis imigran yang sulit melebur sepenuhnya karena memiliki budaya yang bertolak belakang dengan kebiasaan penduduk asli. Mereka membentuk kelompok-kelompok sendiri yang sebagian kecil tidak bicara berbahasa Perancis. Semakin banyak populasi, semakin nyaman dalam kelompok sendiri. Maka tidak heran, setelah isu imigran, isu berikutnya adalah masalah perut seperti, perebutan lapangan pekerjaan, baru populasi, serta penetrasi kebudayaan.
Permasalahan-permasalahan inilah topik lezat majalah satir (selain politik tentu saja) seperti Charlie Hebdo. Mereka gemar menyindir tentang kebiasaan, pola pikir etnis lain, yang di mata mereka ajaib sampai ke tingkat ekstrim. Majalah ini tentu punya target audiens yang setia, niche-nya di masyarakat Perancis.
Karakter orang Prancis sendiri, terkenal blak-blakan dalam mengekspresikan sesuatu, melebihi orang Amerika, menurut saya.
Mereka suka ceplas-ceplos, suka debat, penuh kritik dan keluhan. Itulah darah mereka. Sesuatu yang membuat mereka unik.
Untuk kaum wanitanya sedikit agak “mahal”, senang menjaga jarak, tapi kalau sudah kenal banget, mereka akan ingat kamu sampai bertahun-tahun. Kaum prianya, sedikit komikal, tapi mengobrol dengan mereka, mengasyikkan, saya suka teringat tokoh-tokoh di komik Asterix.
Walau keliatannya malas-malasan dan nyantai, generasi muda Prancis super kritis, ingin tahu, mempertanyakan segala hal. Bagi yang punya darah petualang mereka tidak ragu untuk melempar segalanya untuk bisa pergi mengeksplorasi dunia, dari Afrika sampai Cina. Demi penelitian atau sekedar merasakan adrenalin lebih.
Jadi, orang Perancis itu sangat berbudaya dan kritis. Mereka memang memberi kebebasan lebih dalam berekspresi karena sadar, apa yang membentuk peradaban mereka, sumber dari penemuan-penemuan.
Dalam sejarahpun, mereka mengalami banyak penjajahan menyakitkan. Dari penguasa seberang lautan, raja yang semena-mena, sampai pemerintahan tiran. Jangan lupa, rakyat Perancis adalah rakyat yang pertama, di masa lalu, yang memenggal kepala Raja dan Ratunya sendiri, untuk memulai pemerintahan yang jauh dari kata absolut.
Kota Paris sendiri adalah saksi sejarah peristiwa-peristiwa brutal dan berdarah melihat proses warganya menemukan bentuk “liberte egalite fraternite”, yang tepat. Contohnya adalah di masa pemerintahan teror, dimana banyak orang bakal kehilangan kepala bila di cap sedikit saja sebagai penentang revolusi *leher mendadak gatal2*
Jadi bagi orang Perancis kebebasan berekspresi adalah segalanya.
Bagi mereka kebebasan itu telah melahirkan seorang J.J.Rousseau, Voltaire, dsb.
Kalau kamu enggak setuju dengan yang mereka katakan, silahkan debat. Kasih kita argumen kenapa, dan kalau perlu balas kita dengan tingkat pemikiran yang sama.
Kita bisa memahami bagaimana terpukulnya perasaan mereka ketika terjadi penembakan itu. Mereka bukan hanya shock oleh kekejaman yang hadir, tetapi juga merasa “diserang” secara darah dan daging (sakitnya, tuh, disini). Walaupun memang itu atas sesuatu tulisan yang tidak terpuji, bahkan kadang menyakiti perasaan orang lain.
Mereka umumnya pasif, keturunan imigran. Seringkali generasi muda mereka sudah mulai tertular oleh budaya setempat. Seperti baju yang bebas untuk berjemur, di bulan Ramadhan masih berpuasa dari pagi hingga malam. Atau ada yang sholat 5 waktu namun masih minum-minum. Bagi yang taat, mereka saya lihat lebih tertarik pada ibadah, bersama kaumnya masing-masing, kebanyakan berkumpul di masjid.
Masjid disana memang tidak sebanyak di Indonesia, tentu saja. Kadang hanya ada satu di satu kota. Saat saya berada di daerah , bila mesjid satu-satunya sedang di renovasi, kita umat Islam memanfaatkan sebuah bangsal besar di tempat terpencil untuk sholat Ied. Ketimbang mengeluh, saya melihat kesantunan dan kekhusyukan yang sangat bagus dari mereka, yang kebanyakan imigran.
Saat terbit komik yang menghebohkan umat muslim itu, umat Islam disana protes keras sesuai peraturan dan jalur yang ada. Memang kalah, karena sekali lagi gara2 kebebasan berekspresi itu. Namun apakah merasa perlu melakukan tindakan sampai demikian ekstrim? Mereka pasti sudah cukup disibukkan menghadapi anggapan2 masyarakat dan berbagai persoalan hidup sebagi minoritas, sejak peristiwa 911. Dan karena sudah lama tinggal disana, umumnya juga sudah terbiasa. Berbeda dengan di negara2 lain, seperti negara kita contohnya.
Ketika ada pendapat disini yang mengatakan bahwa majalah itu perlu “belajar untuk tidak memburukkan keyakinan orang”. Saya merasa hal tersebut sangatlah sulit. Karena seperti yang sudah saya jelaskan panjang lebar diatas, itu bukan “darah dan daging” mereka, yang haus akan kebebasan berekspresi.
Konsekuensinya adalah, bila yang diekspresikan adalah hal yang provokatif, akan lahir banyak ketidak-setujuan, kebencian, dsb. Kebebasan berekspresi provokatif dan mengolok-olok harganya adalah represi keras atas perasaan2 manusia yang mendasar, yaitu rasa tidak nyaman, sakit hati dan marah. Hal yang akan mudah sekali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dan akan berjatuhan korban-korban sebenarnya, seperti seorang polisi bernama Ahmed dan masyarakat imigran. Tidak, mungkin akan lebih banyak lagi yang tidak terlihat.
“Je Suis Charlie” adalah hastag solidaritas yang mewakili dunia untuk bilang “Saya juga seorang Charlie”. Yang tidak melakukan itu bisa seolah dianggap “lawan”. Padahal tidak semua orang mau jadi “Charlie”. Bebas berekspresi setuju, namun mengejek keyakinan orang lain, belum tentu ingin.
Sebagai respon, muncul hastag baru “Je Suis Ahmed”, yang tampak mulai banyak di retweet. Setidaknya bisa memberi alternatif bagi mereka yang bertanya-tanya seperti apa sebetulnya tindak kepahlawanan. Berawal dari sebuah tweet yang mewakili tragedi yang sesungguhnya.
“Saya bukan Charlie. Saya, Ahmed, si polisi yang tewas. Charlie telah mengolok-olok keyakinan serta budaya saya, dan saya kehilangan nyawa demi menjaga haknya untuk melakukan itu.”

Château de Fontainebleau

Pray for Paris (Unity)
You May Also Like

Respek Kepada Yang Lebih Tua di Barat vs Timur
June 15, 2020
Patriotisme dan Simpati Orang Prancis
November 27, 2019